Sabtu, 25 Agustus 2007

“Nasyidisasi” Tradisi?


Nampaknya harus diakui, identifikasi Nasyid sebagai musik Islami kini mengalami perkembangan yang amat dinamis. Setidaknya beberapa genre Nasyid kini tengah muncul seperti apa yang disebut dengan Nasyid Rabbani, Nasyid Puji-pujian, Nasyid Modern dan bahkan ada sebutan Nasyid beraroma tradisi lokal.

Sebagian besar group-group Nasyid ini masih mempertahankan warna musik dan lagunya yang ketat yang dianggap mencerminkan sesuatu yang “Islami”. Tapi sebagian lain mulai mengkombinasikan musik bergenre Arab ini dengan warna lokal seperti lagu-lagu daerah atau alat musik tradisional seperti gembyung.

Bagi kelompok pertama, para munsyid ini (nama untuk pelantun Nasyid) cenderung berhati-hati dalam mengemas musik dan lagu mereka agar tidak jatuh pada bentuk-bentuk musik yang “terlarang”, musik yang mengeksplorasi syahwat yang mirip dengan musik jahiliyah. Bagi mereka Nasyid adalah sarana para mujahidin dalam menegakkan agama Allah di medan jihad, sehingga keberadaannya tidak boleh dinodai prilaku bid’ah yang menjauhkan diri mereka dari garis perjuangan. Sementara bagi kelompok kedua yang mengembangkan warna lain dalam Nasyid, hendak menghadirkan Nasyid dalam nuansa berciri khas tradisional dan melokal.

Dalam kelompok ini misalnya ada group Nasyid Kelana yang merupakan akronim dari Kelompok Nasyid Al-Talabah, yang bermarkas di Emmy Saelan Makassar.
Dalam penuturan Muhammad Yunus yang juga manajer kelompok group ini, Nasyid berarti lagu dan kalau mau dipersempit lagi adalah lagu yang menyampaikan nilai-nilai Islami. Oleh karena itu, menurut pria muda yang dipanggil Ustadz Mamad ini Nasyid tidak seharusnya memusuhi genre musik lain.

“Sepanjang niat kita untuk mengangkat nilai-nilai yang Islami lewat lagu atau musik, maka menurut saya itu adalah Nasyid,” ujar Yunus beralasan

Lebih lanjut menurut alumni pesantren IMMIM Makasssar ini, genre Nasyid tak semestinya dikotakkan dalam bentuknya yang kaku, seperti tanpa memakai alat musik, syairnya yang berbahasa Arab, atau liriknya yang bersemangat Harokah. Menurut dia, Nasyid semestinya juga mengakomodasi musik-musik lokal macam kecapi atau sinrilik.

“Bahkan obsesi saya group nasyid ini bisa diperkaya dengan musik-musik tradisi,” ujar Mamad tentang group yang dipimpinnya meski kini menurutnya Kelana . masih mengandalkan Nasyid dengan musik akapella.

Di Makassar, group Nasyid Kelana tidaklah sendirian dalam mengemas Nasyid dengan nuansa lokal ini. Group Nasyid PIKIH dan Launun juga kerap mengkombinasikan Nasyid mereka dengan lagu-lagu daerah tertentu.

Namun demikian rupanya tidak semua kalangan menyetujui kreatifitas group-group Nasyid ini. Kelompok yang selama ini mengembangkan Nasyid sebagai corong pemurnian Islam lewat jalur musik menganggapnya sebagai penyimpangan fatal dari hakikat Nasyid sesungguhnya.

“Ini bisa menjebak kita lagi untuk terbawa arus musik yang bernuansa jahiliyah,” ujar salah seorang pengurus Lembaga Pengembangan Bahasa Arab dan Studi Islam Al-Birr Universitas Muhammadiyah Makassar yang juga pembina group Nasyid Al-Birr Voice Nasyid ini.

Penentangan lain juga datang dari Asep Syamsu, penulis sebuah buku berjudul Kembalikan Nasyid Pada Khittahnya. Menurutnya, kini berbagai jenis Nasyid sudah keluar dari tujuan asalnya, yakni syair penggugah semangat memperjuangkan syiar Islam. Dia pun mencontohkan group nasyid Edcoustic dan Inteam yang dinilainya banyak mengumbar lirik-lirik tentang cinta duniawi.

Terlepas dari pro-kontra yang berlangsung dalam berbagai group Nasyid ini, fenomena tersebut membuktikan bahwa perkembangan musik bergenre Arab ini tengah tumbuh dengan pesatnya di Sulawesi Selatan. Demam Nasyid bukan hanya melanda aktifis kampus, melainkan juga sudah masuk ke pesantren-pesantren yang barangkali dulu hanya mengenal musik qasidahan dan barzanji.

Maka bukan sesuatu yang mustahil bila ke depan Nasyid–sebuah musik bergenre Arab, dengan berbagai variasinya– akan menggantikan musik tradisi. Atau lagu-lagu tradisional ini akan mengalami gerak “Nasyidisasi” yang nampak seolah berjalan alami.[DESANTARA]