Kamis, 23 Agustus 2007

Meneguhkan Kembali Gerakan Anti-Poligami

Momentum Hari Kartini sudah sepantasnya dijadikan media refleksi untuk merenungkan kembali kesahihan poligami yang tersembul dalam UU RI Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Di situ diterangkan kebolehan poligami selama mengantongi ijin istri sebelumnya. Keterangan itu malah dikuatkan UU RI No. 7/1989 pasal 49 yang menugasi Pengadilan Agama untuk menangani poligami.
21 April 2005, seabad lebih wafatnya RA Kartini. Namun, prosesi tahunan –apa yang lazim ditahbiskan sebagai Hari Kartini— yang seremonial, tanpa substansi, justru potensial mereduksi sosok dan ide-ide Kartini. Kartini dikenal dan disajikan sebagai tokoh teladan bukan dari dirinya sendiri, melainkan dari pandangan orang lain mengenai dirinya. Tak heran, jika mitologisasi atas Kartini justru mengurangi kebesaran Kartini itu sendiri serta menempatkannya dalam dunia dewa-dewa. Semakin kurang pengetahuan seseorang tentangnya, makin kuat mitologisasi terhadap Kartini. Gambaran orang tentangnya dengan sendirinya lantas menjadi palsu, karena kebenaran tidak dibutuhkan, orang hanya menikmati candu mitos. Padahal Kartini sebenarnya jauh lebih agung daripada total jendral mitos-mitos tentangnya." (Pramoedya Ananta Toer dalam pengantar Panggil Aku Kartini Saja, 1997).

Untuk itu, diperlukan napak tilas Kartini sebagai sosok perempuan yang terbelenggu tradisi pada jamannya. Ketika itu, Kartini hidup di jaman yang sama sekali tidak menghargai eksistensi kaum perempuan. Betapa tidak, Kartini disunting Bupati Rembang, RTAA Djojohadiningrat, sebagai garwa padmi setelah tiga istri Bupati itu. Ini artinya praktik poligami telah tumbuh subur pada masa itu. Di manapun sangat sedikit perempuan yang merelakan dirinya dimadu oleh laki-laki. Kebanyakan mereka menolak jika laki-laki menjadikan dirinya bukan sebagai istri yang pertama, atau juga tidak menginginkan laki-laki (suaminya) menyunting perempuan lain setelah dirinya. Kartinipun sesungguhnya demikian. Hanya saja Kartini tak memiliki cukup kekuatan untuk melakukan perlawanan mendobrak tradisi yang melecehkan kaum perempuan itu. Bahkan Kartini sendiri dengan sangat terpaksa harus memperpanjang matarantai tradisi itu dengan disunting RTAA Djojohadiningrat sebagai istri keempat.

Dus, Kartini seperti mendaur ulang elegi kehidupan dua perempuan yang sangat dicintainya di mana sangat menderita karena memperebutkan cinta dan kasih sayang dari seorang laki-laki. Kedua perempuan itu adalah Ngasirah, ibunya sendiri, dan RA Sosroningrat, garwa padmi ayahnya yang dinikahi setelah ibunya sekaligus sebagai pengasuhnya. Bayang-bayang kehidupan dua perempuan itulah yang memayungi mahligai rumah tangganya. Kepedihan, kegundahan dan pergolakan batin yang dahsyat tergambar dalam surat-surat Kartini kepada Ny. Abendanon menjelang pesta perkawinan dilangsungkan. 19 Oktober 1903 ia menulis, "Pakaian pesta bertopeng saya sudah jadi. Roekmini menyebutnya kain kafan saya...." 22 Oktober 1903, ia menulis lagi, "Ada luka yang tidak pernah sembuh, ada air mata yang tidak pernah kering...." 3 November 1903 ia lebih eksplisit: "... Hari depan itu tidak pernah saya harapkan...."

Namun, kematian menjemput Kartini lebih awal, tidak sampai setahun usia perkawinannya. Bulan ke sepuluh, empat hari setelah melahirkan putranya, RM Soesalit, Kartini membuka gerbang pembebasan dirinya.

***

BELENGGU tradisi poligami yang melilit Kartini sejatinya masih banyak dialami kaum perempuan masa kini. Harus diakui, poligami telah menjadi bagian gaya hidup laki-laki, dan karenanya di lingkungan tertentu praktik ini telah membudaya. Faktanya poligami telah ada sejak zaman dulu dan terus terpelihara hingga kini dengan berbagai pembenaran dan legitimasi kultural, sosial, ekonomi, dan agama. Jauh sebelum Islam datang, praktik poligami memang telah ada, bahkan jumlah istri bisa membengkak hingga belasan.

Saat Islam datang turun aturan yang membatasi maksimal empat orang saja, dengan syarat ketat yang bagi sejumlah pemikir muslim tidak mungkin bisa terpenuhi oleh seorang laki-laki. Asas keadilan tentu bukan sekadar keadilan kuantitatif semacam pemberian materi atau waktu gilir antar-istri, tapi mencakup keadilan kualitatif (kasih sayang yang merupakan fondasi dan filosofi utama kehidupan rumah tangga). Itulah mengapa di ujung ayat yang sering dijadikan dasar bagi kebolehan (mubahah) praktik poligami Tuhan mewanti-wanti, “Dan apabila kamu takut tidak bisa berbuat adil, maka nikahilah seorang saja" [QS. 4:3]. Itu berarti ideal moral yang dicanangkan al-Quran adalah praktik monogami.

Alasan dibolehkannya poligami di masa awal generasi Islam, seperti yang diungkap Muhammad Abduh (1849-1905), karena saat itu jumlah laki-laki lebih sedikit dibandingkan perempuan akibat banyak yang mati di medan pertempuran. Dengan dalih melindungi dan mengayomi, laki-laki dibolehkan menikahi perempuan lebih dari satu. Juga dengan begitu penyebaran Islam semakin cepat dengan terus menambah jumlah pemeluknya. Sebab perempuan yang dinikahi diharapkan masuk Islam beserta keluarganya. Selain itu, dengan poligami kemungkinan pecahnya konflik antar-suku dapat dicegah. Saat ini, keadaan sudah jelas banyak berubah. Poligami, lanjut Abduh, justru melahirkan banyak persoalan yang mengancam keutuhan bangunan mahligai rumah tangga. Sering timbul percekcokan. Belum lagi efek domino bagi perkembangan psikologi anak yang lahir dari pernikahan poligami. Sering mereka merasa kurang diperhatikan, haus kasih sayang dan, celakanya, secara tidak langsung dididik dalam suasana yang kedap perselisihan dan percekcokan tersebut. Karena itulah Abduh jelas-jelas melarang praktik poligami mengingat syarat adil yang diminta teks tidak mungkin bisa dipenuhi. (Rasyid Ridha, Tafsir al-Manar IV, tt. h. 347-350).

Tradisi poligami, seperti yang dipahami dalam teks itu, tidak lebih pantulan realitas sosial yang mengemuka saat itu. Faktanya ialah perempuan kala itu dalam kondisi terpinggirkan. Dalam hal poligami, Alquran merekam praktik itu sebab ia adalah realitas sosial masyarakat saat itu. Tak terlalu salah jika Thaha Husein (1889-1950) dalam Fi Syi’r al-Jahili (tt. h. 25-33), dengan berani mengambil hipotesa bahwa Alquran pada dasarnya adalah cermin budaya masyarakat Arab Jahiliyah (pra-Islam). Karena itu, seruan poligami dalam teks itu harus dipandang sebagai sebuah proses yang belum final dan masih terbuka bagi “pembacaan lain” sesuai dengan konteks sosial kontemporer. Jika hipotesa Husein dikembangkan, akan dijumpai pemahaman bahwa Alquran sesungguhnya adalah respon terhadap berbagai persoalan umat kala itu. Sebagai respon, tentu saja Alquran menyesuaikan dengan keadaan setempat yang saat itu dipenuhi dominasi budaya patriarkhi.

Momentum Hari Kartini sudah sepantasnya dijadikan media refleksi untuk merenungkan kembali kesahihan poligami yang tersembul dalam UU RI Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Di situ diterangkan kebolehan poligami selama mengantongi ijin istri sebelumnya. Keterangan itu malah dikuatkan UU RI No. 7/1989 pasal 49 yang menugasi Pengadilan Agama untuk menangani poligami. Pemerintah seharusnya memikirkan nasib kaum perempuan yang hak-hak kebebasan dasarnya terancam oleh tradisi poligami. Sebab sampai saat ini masalah poligami seolah-olah tidak ditangani serius dan tenggelam dalam gelombang besar masalah yang silih berganti menerpa bangsa ini. Asumsi melindungi dan mengayomi sebagai pijakan fungsi sosial poligami sudah sepantasnya dikaji ulang sekaligus dialihkan pada hal-hal lain yang kebutuhannya lebih mendesak.

Dengan kata lain, UU anti-poligami mendesak untuk segera direalisasikan demi melindungi kaum perempuan dari golongan tertentu yang ingin mereguk keuntungan dengan memelintir seruan teks untuk kepentingan poligami. Keberanian pemerintah Turki di bawah kepemimpinan Musthafa Kemal Ataturk mensahkan UU yang melarang poligami di tahun 1926 perlu dijadikan teladan. Juga pemerintah Tunisia di bawah presiden Bourguiba pada tahun 1956 yang melakukan hal serupa layak ditiru. Dan di sisi lain, mandat perjuangan emansipasi dan pemberdayaan perempuan yang menjadi cita-cita agung Kartini, dengan demikian, akan menemukan titik terang. Dan beginilah sesungguhnya salah satu aspek substansial untuk menghormati kebesaran Kartini, bukan dengan retorika semata. []

Faizah SA, staf pengajar di Ponpes Krapyak, aktif sebagai peneliti Lembaga Studi dan Pengembangan Santri dan Masyarakat (LeSPiM) Yogyakarta.